Orang
bijak selalu mengatakan bahwa sejarah masa lampau telah memberikan banyak
pelajaran dan menawarkan dua alternatif. Yang buruk harus selalu dibenamkan,
dan yang baik harus selalu ditegakkan.
Janganlah
menengok pada hal yang suram karena hidup selalu memerlukan obor yang terang.
Ade Ma’ruf, seorang penerjemah pernah mengatakan bahwa,”Sejarah adalah serupa
tetumbuhan makna. Kita ditantang untuk merawatnya agar kehidupan tak lantas
menjadi pasak-pasak dengan pucuk yang sarat beban hingga kita pun tergopoh
memikulnya.”
**
Babad
kawak mengajarkannya kepada kita melalui sabda para pandita dan fatwa resi
bijaksana. Tambo mengisahkan buramnya masa silam agar kita tak kembali
terperosok dalam hitam yang serupa.
Hyerogliph
ditata pada dinding-dinding gua di Mesir lama. Begitu pula aksara Jawa kuno
yang tertoreh di lontar lanjut usia. Jauh sejak lama orang berusaha menjelaskan
pelbagai hal melalui aksara. Itulah kenapa kultur kata mengembang menjadi
budaya aksara. Fatsoen tak sekedar dilisankan dan dipertunjukkan, namun juga
ditegaskan lewat tamsil dan simbol-simbol.
Gutenberg
berjasa bukan karena menyebarkan teknik mekanis penggandaan aksara, dia juga
menelusupkan gagasan pentingnya penguatan makna kata melalui cetak aksara
tersebut. Penggandaan adalah persebaran, catatan menjadi makin teramankan.
Sejarah pun dapat terus tergulirkan. (dikutip dari Ade Ma’ruf)
**
Albert
Camus, seorang penulis hebat yang lahir pada tahun 1913 di Algeria Aljazair
pernah berkata,”Karya lebih bermaksud menyadarkan kreatornya pada kenyataan
hidup yang memang seringkali diluar kendali nalar. Maka, karyapun sekedar
menawarkan. Dia tak pernah memutuskan. Tulisan adalah gambaran. Para pembaca
dianjurkan untuk menatap dan memaknainya..”
Jika
para penulis di blog ini begitu banyak ragamnya, maka pandanglah tulisan mereka
itu sebagai sebuah gambaran kehidupan. Jernihkan hatimu untuk mengatakan bahwa
penulis itu hendak menawarkan sesuatu yang ‘saat ini’ sedang ia punyai. Dia
hanya memberikan gambaran. Tak pernah ada keputusan final dari sebuah tulisan.
Tatap saja tulisannya dan galilah makna dari tulisannya itu.
Camus
hendak menitipkan pesan bahwa proses menulis tentu harus lebih dihargai. Sebab
penulis juga tumbuh dan berkembang. Penulis akan melewati liku-liku
kehidupannya, sejarahnya dan nuansa dirinya. Dia tak mungkin tetap berdiri di
satu titik, tapi dia akan selalu berpindah menuju satu titik tertentu lagi.
Menuju keberlangsungan proses yang ia jalani.
**
Bertrand
Russell, seorang penulis hebat yang telah ditinggal mati kedua orang tuanya
saat dia berumur 3 tahun pernah mengatakan bahwa,”Aku tak pernah berani
mengatakan bahwa tulisan-tulisanku murni hasil olah kreasiku sendiri. Aku
sangat dipengaruhi gaya John Stuart Mill..”
Russell
mengakui bahwa nuansa menulis bisa dipengaruhi siapa saja. Bahkan, gaya dan
model menulis juga bisa terinspirasi dari siapa saja. Tapi Russel selalu
menolak jika dia dikatakan meniru.
‘Terpengaruh oleh nuansa’ bukanlah meniru
atau plagiat. ‘Terinspirasi oleh tulisan’ juga bukan peniruan atau plagiasi.
Manusia selalu berhubungan dengan manusia lain. Russell mengatakan bahwa semua
usaha memplagiat adalah selalu berkaitan dengan ketidaktulusan tertentu.
Dalam
tulis menulis di blog, mungkin ketidaktulusan itu bisa berupa hasrat
aktualisasi diri ala Maslow yang dipaksakan untuk menggapai popularitas sesaat.
Nangkring di kolom Headline misalnya, meskipun dengan sadar melakukan copy
paste 100 persen tanpa menyebut sumber tulisannya.
**
Apa
yang diungkapkan Russell mirip yang diungkapkan Gabriel Garcia Marquez, seorang
penulis yang lahir di Kolombia. Gabriel berkata,”Ketekunan lebih maslahat
daripada peniruan. Penulis harus rela berpeluh keringat untuk menemukan rahasia
dibalik derai-derai halaman buku serta deretan aksara. Jika dia menemukan
patahan-patahan makna, maka dia harus menyatukannya dan memahaminya kembali.
Meskipun itu hal yang misterius..”
Mungkin
Gabriel Garcia Marquez lebih menekankan pada pembelajaran menulis bagi para
penulis pemula. Dia memberikan motivasinya agar kita, para penulis pemula ini
tak hanya bermalas-malasan, namun harus rajin dan tekun serta berpeluh keringat
untuk membaca banyak buku dan menulis deretan-deretan aksara yang bermakna.
Sebab, semua aksara tentu mempunyai makna meskipun dalam alam pikir kita, bisa
saja makna-makna itu masih berserakan. Dan tugas kita untuk menyatukan dan
memahaminya kembali. Kemudian, kita harus menuliskannya kembali dengan baik.
Melalui bahasa kita sendiri.[ ]
Sumber : http://muda.kompasiana.com/2011/05/20/nasihat-para-penulis-dunia-364349.html
0 komentar:
Posting Komentar